Jam Tangan: Aksesori Cewek yang Jadi Simbol Maskulinitas

Siapa sangka, jam tangan awalnya dibuat untuk perempuan bangsawan sebagai perhiasan elegan, bukan aksesori pria! Artikel ini mengupas perjalanan unik jam tangan dari simbol feminin ke lambang maskulinitas dalam dunia modern.

HISTORYFUN FACTAKSESORISJAM

5/11/20252 min baca

Saat melihat iklan jam tangan pria—dengan model gagah, mobil sport, dan suasana maskulin—kita dengan mudah percaya bahwa jam tangan memang diciptakan untuk laki-laki. Tapi sejarah bicara sebaliknya. Dulu, jam tangan justru dianggap terlalu feminin untuk pria. Lucu, ya?

Semua bermula di abad ke-16. Ketika jam pertama kali dibuat dalam bentuk portabel, bentuknya masih besar dan lebih mirip kotak logam yang bisa dibawa-bawa. Namun pada abad ke-17 hingga ke-18, jam mulai berkembang menjadi lebih kecil dan lebih praktis—dan di sinilah muncul wristwatch atau jam pergelangan tangan. Tapi jam ini bukan untuk tentara, atlet, atau pekerja kantoran pria. Justru sebaliknya—jam tangan adalah perhiasan bangsawan wanita.

Para wanita dari kalangan aristokrat memakai jam tangan yang lebih menyerupai gelang emas atau perhiasan berlian. Fungsi utamanya bukan menunjukkan waktu, tapi menunjukkan status. Jam-jam ini sangat dekoratif, dan jarang sekali akurat. Bahkan, banyak dari jam tangan era itu tidak digunakan sebagai penunjuk waktu fungsional, melainkan hanya sebagai aksesori mewah.

Sementara itu, para pria memakai jam saku—yang dianggap lebih “maskulin” dan intelektual. Jam saku juga mencerminkan gaya elegan pria pada masa itu, dan penggunaannya dianggap sebagai simbol kedewasaan serta kecanggihan. Jam tangan pergelangan dianggap terlalu kecil, terlalu mencolok, dan terlalu... “perempuan”.

Namun, semua berubah drastis di awal abad ke-20, tepatnya saat meletusnya Perang Dunia I. Para tentara menghadapi tantangan praktis: mereka tidak bisa dengan mudah mengambil jam saku dari kantong sambil bertempur di medan perang. Maka mulailah mereka mengenakan jam tangan di pergelangan—baik yang didesain ulang dari jam saku, maupun yang memang dibuat lebih ringkas dan kuat.

Jam tangan menjadi senjata waktu yang krusial untuk mengatur strategi, sinkronisasi serangan, dan efisiensi. Dalam perang, kepraktisan mengalahkan norma sosial. Dan inilah awal mula jam tangan menjadi identik dengan pria.

Setelah perang usai, para pria pulang ke rumah—tetap memakai jam tangan. Masyarakat pun mulai mengubah pandangannya. Yang dulunya dianggap feminin, kini jadi maskulin. Bahkan, jam tangan mulai dirancang dengan fitur-fitur khas pria: penunjuk tanggal, kronograf, tahan air, hingga desain militer.

Brand-brand besar seperti Rolex, Omega, dan Seiko mulai memasuki pasar pria dengan desain yang kuat dan berani. Di tahun-tahun berikutnya, jam tangan menjelma jadi simbol kesuksesan, ketepatan waktu, dan gaya hidup dinamis.

Ironisnya, kini ada stigma sebaliknya: bahwa jam tangan adalah aksesori khas pria. Padahal, jika ditilik dari sejarahnya, jam tangan lahir dari dunia perempuan, tumbuh lewat kebutuhan perang, dan sekarang menjadi milik semua orang.

Warna, bentuk, atau ukuran tak lagi membatasi. Baik pria maupun wanita bisa memakai apa pun yang mereka suka. Dunia mode terus berkembang, dan sejarah sering membalikkan persepsi kita.

Jadi, lain kali kamu melihat jam tangan mewah di etalase pria—ingat satu hal: dulu, itu mungkin milik seorang bangsawan perempuan yang sedang memamerkan status dan keanggunannya.